Dari Seminar “Branding” Pascasarjana Pariwisata Unud (1)

Oleh Gregorius Rusmanda

SERANGKAIAN Dies Natalis Unud, Program Studi Magister Kajian Pariwisata menyelenggarakan seminar dengan topik “Branding Individu dan Branding Kolektif dalam Pariwisata Bali”. Seminar ini menarik, karena Panitia berhasil menghadirkan manusia-manusia “langka” yang sukses di bidangnya. Seperti apa?

Senja itu, Jumat (2/10), Aula Gedung Pascasarjana Unud, Jl. PB Sudirman Denpasar, penuh sesak. Peserta seminar sekitar 300 orang diam terpaku karena terpukau oleh presentasi empat narasumber yang lihai dan ahli di bidangnya. Siapa tak kenal Mr. Joger dan Made Masih (pemilik Warung Made Kuta) yang nama dan produknya melegenda?

Dr. Putu Saroyeni pakar marketing lulusan Universitas Indonesia serta Prof. Dr. I Gde Pitana—yang melejit dari wartawan, akademisi, kemudian menjadi petinggi di Kementerian Pariwisata, juga telah banyak menginspirasi. Juga Dr. Nyoman Madiun, mantan Ketua STP Nusa Dua Bali yang bertindak sebagai pemandu seminar, reputasinya tak diragukan lagi.

Walau Made Masih memaparkan makalahnya dengan terbata-bata dan mengaku terus terang tak sempat mengenyam pendidikan formal, namun kiprahnya di dunia Food and Beverage sangat terkenal. Warung Made di Kuta yang dikelolanya sejak tahun 1969 sampai kini menjadi salah satu ikon kuliner Pulau Dewata.

Prof. Dr. Nyoman Darma Putra, Ketua PS Magister Pariwisata Unud yang mendampingi Made Masih mengakui kehebatan wanita berusia kepala enam ini. “Merekam jejak Ibu Made, jelas terlihat kerja keras, konsistensi dan upaya-upaya inovatif sehingga Warung Made menjadi sebuah branding yang mendunia,” ujar Prof. Darma Putra.

ANTI MAINSTREAM 

Gaya presentasi Joseph Joger yang kocak menjadi daya tarik sendiri bagi sekitar 300 peserta yang sebagian besar di antaranya merupakan mahasiswa pariwisata. Joger boleh dikata anti mainstream. Bagaimana tidak, pria berusia 64 tahun ini mengatakan bahwa marketing itu sejatinya adalah “ilmu tipu menipu”.

“Bagaimana kita menipu konsumen, tetapi konsumen tidak merasa tertipu. Bahkan justru merasa bahagia, sehingga dengan suka rela tetap datang untuk membeli produk kita. Sehingga terjadilah tipumenipu secara berkelanjutan. Kita sebagai produsen bahagia dan konsumen yang kita tipu juga bahagia,” ujar Mr. Jogar.

Pria bernama asli Joseph Theodorus Wuliandi ini, juga berlaku ‘aneh’ dalam menjual produknya. Di gerai Joger, pembeli dilarang memboyong produk lebih dari 12 pieces. Padahal, penjual lainnya berprinsip, makin banyak orang membeli justru makin baik. Keuntungan makin besar!

Selain itu, Mr. Joger menyapa para pekerjanya bukan sebagai karyawan, tetapi anggota keluarga. Dan upah mereka bukan sebagai gaji atau honor, tetapi uang saku. “Saya menyebut mereka anak-anak saya, karena mereka merupakan bagian dari keluarga saya, keluarga Joger,” ujarnya enteng.

Walau “teori” berbisnis Mr. Joger ini tampak absurd dan jenaka, namun sesungguhnya memiliki value dan fi losofi  yang dalam. Di mana setiap usaha atau aktivitas bisnis yang dijalankan sedapat mungkin berorientasi kebahagiaan (happiness oriented), baik bagi pengusaha, manajemen dan karyawan serta para konsumen.

Kebahagiaan tentu saja tak bisa dibangun dengan kesemuan, tetapi harus dengan kejujuran dan kesungguhan. Oleh karena itu, produk Joger tentunya berkualitas sehingga para konsumen merasa memiliki “posisi” tersendiri ketika memakai produk Joger. Dalam dunia fashion berlaku adagium, you use what you are!

Tak aneh, walau Joger mengklaim produknya jelek, namun tetap digandrungi. Bahkan, ada komunitas tertentu beranggapan belum lengkap mengunjungi Bali kalau belum berbelanja di Joger. “Ini membuktikan branding individu Mr. Joger sangat kuat. Branding yang kuat dibangun di atas kerja keras dan konsistensi,” ujar Dr. Nyoman Madiun, selaku pemandu seminar. (bersambung)